Jangan pernah sekali-kali mempergunakan
kedudukan, kebaikan --apalagi kecerdasan-- untuk mendapat keuntungan
pribadi, lebih-lebih dengan cara curang.
PADA zaman seperti sekarang, kemunafikan
seolah menjadi kelaziman. Siapa tidak munafik sepertinya tidak akan
mendapatkan jabatan, keuntungan dan penghargaan. Beragam manipulasi
telah nyata dipertontonkan, namun penegakan hukum ditiadakan. Pada
akhirnya fakta demikian ini menjadi virus dan menyebar dengan sangat
ganas.
Tetapi, itu yang kita lihat pada diri orang lain. Lantas bagaimana dengan diri sendiri, apakah sudah benar-benar terbebas dari kemunafikan? Atau malah di tengah kesholehan dalam wujud amal yang terus dilakukan, sesungguhnya mindset (cara berpikir) kita justru terus mengarah pada cara berpikir munafik? Tentu hanya hati-hati yang jujur yang bisa menjawab dengan benar.
Tanda Kemunafikan
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati.” (HR. Bukhari).
Hadits ini umumnya tidak digali dengan penalaran yang memadai, cukup diarahkan kepada siapa saja yang memang secara tersurat dinilai memenuhi tiga kriteria tersebut dan itu pasti berurusan dengan orang lain.
Lantas, apakah itu tidak mungkin terjadi di dalam hati kita sendiri? Di sinilah setiap Muslim perlu berani memerksa kondisi hatinya. Apakah dalam setiap gerakan niat, besitan kata dan lintasan kalimat yang muncul adalah murni demi maslahah umat dan karena Allah atau jangan-jangan terselip hawa nafsu diri untuk memperoleh kepentingan pribadi?
Sekiranya Nabi Yusuf Alayhissalam mau, beliau tidak perlu masuk penjara. Tetapi tunduk terhadap orang yang mindset-nya sudah keliru, bukanlah langkah tepat untuk dilakukan.
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٣٣
“Yusuf berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf [12]: 33).
Dalam tafsirnya Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menolak dengan sangat tegas dan memilih untuk dipenjara. Hal ini tiada lain karena Nabi Yusuf mementingkan terpeliharanya iman daripada tercapainya kesenangan, mendahulukan maslahah daripada mafsadah, yang tentu semua itu dipilih karena takut kepada Allah dan mengharap ridho-Nya.
Hari ini, apakah hati kita memilih terselamatkannya iman atau malah terpeliharanya kedudukan, jabatan dan penghargaan? Jika dalam setiap gerak-gerik hidup ini yang dicari hanyalah kesenangan dengan menomorduakan iman, maka sungguh kemunafikan itu mulai tumbuh. Dan, jika dibiarkan ini bisa menimbulkan banyak kerusakan. Di sisi lain, hati dan pikiran akan terkonsentrasi bagaimana menyenangkan atasan meski dengan cara-cara tidak terhormat dan menginjak-injak bawahan secara semena-mena. Bahkan menyingkirkan kanan dan kiri demi ambisi pribadi.
Dengan kata lain, cara pertama untuk menjaga hati dari kemunafikan adalah dengan komitmen kepada iman, dan siap mempertahankannya apapun resiko yang mesti dihadapi.
Kedua, jangan memberi dengan harapan mendapat balasan lebih وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ yang artinya, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir [74]: 6).
Sebagai Muslim, kita mesti waspada, jangan sampai dalam setiap kebaikan yang dilakukan terbesit keinginan mendapa imbalan lebih banyak, lebih besar, lebih terhormat dan lain sebagainya.
Jika ini terjadi dalam sebuah tim kerja maka orang yang gagal mewaspadai hal tersebut akan banyak merapat pada atasan dan menganggap dirinya orang penting. Pada saat yang sama terhadap sesamanya ia merendahkan. Pekerjaannya hanya mengoreksi kinerja orang, menyalahkannya dan kemudian memberikan banyak komentar dan semua itu dilakukan dengan bahasa yang boleh jadi sangat lembut dan ‘mempesona.’
Terhadap sifat-sifat yang demikian, seorang guru pernah berkata kepada muridnya, “Jangan pernah sekali-kali kamu mempergunakan kedudukanmu, kebaikanmu apalagi kecerdasanmu untuk mendapat keuntungan pribadi, lebih-lebih dengan cara-cara yang curang, meski yang di atasmu adalah orang yang sangat dekat denganmu.”
Ketiga, memohon kepada Allah agar hati ini tidak cenderung pada ketidakbaikan dan ketidakbenaran.
Nabi Yusuf bisa selamat dari kemunafikan karena beliau berdoa kepada Allah. Ibn Katsir menguraikan hal ini dalam tafsirnya.
“Dan jika Engkau tidak hindarkan (menjauhkan) tipu daya mereka dariku, tentu aku cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka),” maksudnya, jika Raab menyerahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak mampu dan aku tidak dapat mengendalikan apa yang dapat merugikan dan berguna bagi diriku kecuali dengan daya—Mu dan kekuatan-Mu. Engkaulah Al-Musta’an (tempat kami meminta pertolongan) dan kepada-Mu lah kami bertawakkal, maka janganlah Engkau serahkan (urusan) diriku kepadaku sendiri.
Pada akhirnya semua kembali pada diri kita masing-masing sebagai Muslim. Tetapi, yang pasti kemunafikan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Sebab kemunafikan sandarannya pada keuntungan yang direkayasa rasio sementara ketulusan, keikhlasan adalah keuntungan yang sandarannya adalah Allah. Dan, Allah mustahil tidak memberikan kebahagiaan kepada Muslim-Muslimat yang dengan susah payah menjaga hatinya dari noda kemunafikan. Wallahu a’lam.*
sumber : www.hidayatullah.com
Tetapi, itu yang kita lihat pada diri orang lain. Lantas bagaimana dengan diri sendiri, apakah sudah benar-benar terbebas dari kemunafikan? Atau malah di tengah kesholehan dalam wujud amal yang terus dilakukan, sesungguhnya mindset (cara berpikir) kita justru terus mengarah pada cara berpikir munafik? Tentu hanya hati-hati yang jujur yang bisa menjawab dengan benar.
Tanda Kemunafikan
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati.” (HR. Bukhari).
Hadits ini umumnya tidak digali dengan penalaran yang memadai, cukup diarahkan kepada siapa saja yang memang secara tersurat dinilai memenuhi tiga kriteria tersebut dan itu pasti berurusan dengan orang lain.
Lantas, apakah itu tidak mungkin terjadi di dalam hati kita sendiri? Di sinilah setiap Muslim perlu berani memerksa kondisi hatinya. Apakah dalam setiap gerakan niat, besitan kata dan lintasan kalimat yang muncul adalah murni demi maslahah umat dan karena Allah atau jangan-jangan terselip hawa nafsu diri untuk memperoleh kepentingan pribadi?
Sekiranya Nabi Yusuf Alayhissalam mau, beliau tidak perlu masuk penjara. Tetapi tunduk terhadap orang yang mindset-nya sudah keliru, bukanlah langkah tepat untuk dilakukan.
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٣٣
“Yusuf berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf [12]: 33).
Dalam tafsirnya Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menolak dengan sangat tegas dan memilih untuk dipenjara. Hal ini tiada lain karena Nabi Yusuf mementingkan terpeliharanya iman daripada tercapainya kesenangan, mendahulukan maslahah daripada mafsadah, yang tentu semua itu dipilih karena takut kepada Allah dan mengharap ridho-Nya.
Hari ini, apakah hati kita memilih terselamatkannya iman atau malah terpeliharanya kedudukan, jabatan dan penghargaan? Jika dalam setiap gerak-gerik hidup ini yang dicari hanyalah kesenangan dengan menomorduakan iman, maka sungguh kemunafikan itu mulai tumbuh. Dan, jika dibiarkan ini bisa menimbulkan banyak kerusakan. Di sisi lain, hati dan pikiran akan terkonsentrasi bagaimana menyenangkan atasan meski dengan cara-cara tidak terhormat dan menginjak-injak bawahan secara semena-mena. Bahkan menyingkirkan kanan dan kiri demi ambisi pribadi.
Dengan kata lain, cara pertama untuk menjaga hati dari kemunafikan adalah dengan komitmen kepada iman, dan siap mempertahankannya apapun resiko yang mesti dihadapi.
Kedua, jangan memberi dengan harapan mendapat balasan lebih وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ yang artinya, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. Al-Mudatstsir [74]: 6).
Sebagai Muslim, kita mesti waspada, jangan sampai dalam setiap kebaikan yang dilakukan terbesit keinginan mendapa imbalan lebih banyak, lebih besar, lebih terhormat dan lain sebagainya.
Jika ini terjadi dalam sebuah tim kerja maka orang yang gagal mewaspadai hal tersebut akan banyak merapat pada atasan dan menganggap dirinya orang penting. Pada saat yang sama terhadap sesamanya ia merendahkan. Pekerjaannya hanya mengoreksi kinerja orang, menyalahkannya dan kemudian memberikan banyak komentar dan semua itu dilakukan dengan bahasa yang boleh jadi sangat lembut dan ‘mempesona.’
Terhadap sifat-sifat yang demikian, seorang guru pernah berkata kepada muridnya, “Jangan pernah sekali-kali kamu mempergunakan kedudukanmu, kebaikanmu apalagi kecerdasanmu untuk mendapat keuntungan pribadi, lebih-lebih dengan cara-cara yang curang, meski yang di atasmu adalah orang yang sangat dekat denganmu.”
Ketiga, memohon kepada Allah agar hati ini tidak cenderung pada ketidakbaikan dan ketidakbenaran.
Nabi Yusuf bisa selamat dari kemunafikan karena beliau berdoa kepada Allah. Ibn Katsir menguraikan hal ini dalam tafsirnya.
“Dan jika Engkau tidak hindarkan (menjauhkan) tipu daya mereka dariku, tentu aku cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka),” maksudnya, jika Raab menyerahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak mampu dan aku tidak dapat mengendalikan apa yang dapat merugikan dan berguna bagi diriku kecuali dengan daya—Mu dan kekuatan-Mu. Engkaulah Al-Musta’an (tempat kami meminta pertolongan) dan kepada-Mu lah kami bertawakkal, maka janganlah Engkau serahkan (urusan) diriku kepadaku sendiri.
Pada akhirnya semua kembali pada diri kita masing-masing sebagai Muslim. Tetapi, yang pasti kemunafikan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Sebab kemunafikan sandarannya pada keuntungan yang direkayasa rasio sementara ketulusan, keikhlasan adalah keuntungan yang sandarannya adalah Allah. Dan, Allah mustahil tidak memberikan kebahagiaan kepada Muslim-Muslimat yang dengan susah payah menjaga hatinya dari noda kemunafikan. Wallahu a’lam.*
sumber : www.hidayatullah.com